Kasus Baiq Nuril: Solusi Hukum Dengan Grasi Atau Amnesti
Rakyat Digital. Presiden Joko Widodo diminta mengeluarkan amnesti, bukan grasi, bagi Baiq Nuril, yang oleh Mahkamah Agung dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.
MA mengatakan Baiq "telah melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.
Hakim kasasi MA mengatakan Baiq dianggap terbukti "mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan".
Aziz Fauzi, pengacara Baiq Nuril, mengatakan tawaran grasi dari Presiden Jokowi akan ditolak karena grasi menyiratkan kliennya bersalah.
"Grasi itu kan artinya klien kami dinyatakan bersalah dan minta ampun. Sementara kondisi perkara Baiq Nuril, klien kami tak salah. Putusan Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Baiq tidak terbukti bersalah.
"Hukum formilnya menunjukkan, bukti-bukti yang diajukan untuk menjerat klien kami itu tidak sah dan cacat dan bertentangan dengan pasal 5 dan 6 UU ITE dan KUHAP. Jadi tak ada alasan menyatakan klien kami bersalah," tegas Aziz.
Ia menambahkan bahwa pihaknya akan tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK), begitu salinan kasasi diterima.
Hari Rabu (21/11) ia berencana mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk meminta bantuan saksi ahli dalam pengajuan PK.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan pemberian grasi tidak sesuai dengan konteks kasus yang menjerat Baiq Nuril.
Menurut Bivitri, grasi mensyaratkan minimal hukuman terdakwa dua tahun, mendapat persetujuan dari DPR, dan diajukan oleh terpidana. Sementara Nuril hanya diancam penjara enam bulan.
Bentuk pengampunan yang tepat diberikan kepada Nuril adalah amnesti karena tidak harus menunggu proses Peninjauan Kembali (PK) berjalan.
"Kalau grasi saya kira dalam kasus Baiq Nuril tidak tepat karena sanksinya beda dalam aturan dan harus ada permintaan dari Baiq. Sementara PK itu adalah upaya hukum luar biasa jika ada bukti baru," jelas Bivitri.
"Kalau mau dimulai proses amnesti sangat baik, karena proses PK itu tidak mudah dan harus ada novum," katanya.
Dia juga mengatakan, dengan memberikan amnesti kepada Baiq Nuril maka ini bisa menjadi pelajaran bagi peradilan, hakim, dan aparat penegak hukum dalam menangani persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan perempuan.
Dalam catatannya, hakim "kerap mengabaikan" Peraturan MA (Perma) nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman dalam Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
"Kalau mau memberi amnesti, Presiden harus punya pesan kuat untuk publik bahwa ini masalah yang mendasar di lembaga peradilan dan aparat hukum secara umum. Kita tak bisa menyalahkan MA saja, tapi jaksa juga, termasuk penyidik. Karena paradigma aparat hukum tentang kasus yang dihadapi perempuan harus diperbaiki," tandasnya.
Hal lain yang juga harus diperhatikan yakni penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut dia, beleid ini kerap digunakan tidak sebagaimana mestinya dan selalu merugikan perempuan.
Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu.
Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti menyebutkan akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan.
Akan tetapi pemberian amnesti harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Grasi, menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002, adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden ialah orang yang bersalah, namun memohon pengampunan kepada kepala negara. Tindak pidana atau kesalahan orang itu tidak hilang tetapi pelaksanaan pidana seperti hukuman penjaranya saja yang diampuni.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, mengatakan Presiden Jokowi masih berharap Baiq Nuril mendapat keadilan dalam putusan Peninjauan Kembali (PK).
Itulah sebabnya, presiden tak buru-buru memberikan pengampunan dalam bentuk grasi.
"Presiden dalam konteks ini tak bisa melawan hukum, karena itu presiden memberikan empati yang besar kepada Baiq Nuril. Tapi di sisi lain presiden harus mematuhi dan menghormati kekuasaan yudikatif, yaitu MA," kata Ifdhal.
Menurut dia, pemberian grasi adalah yang paling mungkin diberikan melihat kasus yang menjerat Nuril karena tindak kejahatan dalam Undang-Undang tentang Grasi bersifat personal, bukan kejahatan melawan negara atau pemerintahan.
Selain itu, pemberian grasi tidak harus melalui persetujuan DPR, hanya mempertimbangkan pendapat Mahkamah Agung.
"Kalau amnesti sendiri tidak absolut keputusan presiden, karena harus mendapat pertimbangan DPR. Itu juga perlu waktu, tidak bisa cepat," imbuhnya.
"Amnesti juga tertuju kepada mereka yang secara berkelompok atau banyak yang terlibat dalam tindak pidana melawan negara. Misalnya makar, menghina kepada pemerintahan atau kepala negara. Jadi semua tindak pidana yang merupakan crime against state, bukan crime against person seperti kasus Baiq Nuril. Karena itu, agak sulit menggunakan amnesti karena peruntukannya beda," kata Ifdhal.
Namun demikian, Ifdhal mengatakan, pembahasan tentang pemberian pengampunan kepada Baiq Nuril masih akan terus dibahas. Presiden pun, kata dia, belum memperoleh informasi yang utuh tentang kasusnya.
Presiden Jokowi pernah memberikan grasi setidaknya kepada lima orang tahanan politik yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ia mengatakan pemberian grasi tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.
MA mengatakan Baiq "telah melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.
Hakim kasasi MA mengatakan Baiq dianggap terbukti "mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan".
Aziz Fauzi, pengacara Baiq Nuril, mengatakan tawaran grasi dari Presiden Jokowi akan ditolak karena grasi menyiratkan kliennya bersalah.
"Grasi itu kan artinya klien kami dinyatakan bersalah dan minta ampun. Sementara kondisi perkara Baiq Nuril, klien kami tak salah. Putusan Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Baiq tidak terbukti bersalah.
"Hukum formilnya menunjukkan, bukti-bukti yang diajukan untuk menjerat klien kami itu tidak sah dan cacat dan bertentangan dengan pasal 5 dan 6 UU ITE dan KUHAP. Jadi tak ada alasan menyatakan klien kami bersalah," tegas Aziz.
Ia menambahkan bahwa pihaknya akan tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK), begitu salinan kasasi diterima.
Hari Rabu (21/11) ia berencana mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk meminta bantuan saksi ahli dalam pengajuan PK.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan pemberian grasi tidak sesuai dengan konteks kasus yang menjerat Baiq Nuril.
Menurut Bivitri, grasi mensyaratkan minimal hukuman terdakwa dua tahun, mendapat persetujuan dari DPR, dan diajukan oleh terpidana. Sementara Nuril hanya diancam penjara enam bulan.
Bentuk pengampunan yang tepat diberikan kepada Nuril adalah amnesti karena tidak harus menunggu proses Peninjauan Kembali (PK) berjalan.
"Kalau grasi saya kira dalam kasus Baiq Nuril tidak tepat karena sanksinya beda dalam aturan dan harus ada permintaan dari Baiq. Sementara PK itu adalah upaya hukum luar biasa jika ada bukti baru," jelas Bivitri.
"Kalau mau dimulai proses amnesti sangat baik, karena proses PK itu tidak mudah dan harus ada novum," katanya.
Dia juga mengatakan, dengan memberikan amnesti kepada Baiq Nuril maka ini bisa menjadi pelajaran bagi peradilan, hakim, dan aparat penegak hukum dalam menangani persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan perempuan.
Dalam catatannya, hakim "kerap mengabaikan" Peraturan MA (Perma) nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman dalam Mengadili Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
"Kalau mau memberi amnesti, Presiden harus punya pesan kuat untuk publik bahwa ini masalah yang mendasar di lembaga peradilan dan aparat hukum secara umum. Kita tak bisa menyalahkan MA saja, tapi jaksa juga, termasuk penyidik. Karena paradigma aparat hukum tentang kasus yang dihadapi perempuan harus diperbaiki," tandasnya.
Hal lain yang juga harus diperhatikan yakni penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut dia, beleid ini kerap digunakan tidak sebagaimana mestinya dan selalu merugikan perempuan.
Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu.
Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti menyebutkan akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan.
Akan tetapi pemberian amnesti harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Grasi, menurut pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002, adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Seseorang yang mendapatkan grasi dari presiden ialah orang yang bersalah, namun memohon pengampunan kepada kepala negara. Tindak pidana atau kesalahan orang itu tidak hilang tetapi pelaksanaan pidana seperti hukuman penjaranya saja yang diampuni.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, mengatakan Presiden Jokowi masih berharap Baiq Nuril mendapat keadilan dalam putusan Peninjauan Kembali (PK).
Itulah sebabnya, presiden tak buru-buru memberikan pengampunan dalam bentuk grasi.
"Presiden dalam konteks ini tak bisa melawan hukum, karena itu presiden memberikan empati yang besar kepada Baiq Nuril. Tapi di sisi lain presiden harus mematuhi dan menghormati kekuasaan yudikatif, yaitu MA," kata Ifdhal.
Menurut dia, pemberian grasi adalah yang paling mungkin diberikan melihat kasus yang menjerat Nuril karena tindak kejahatan dalam Undang-Undang tentang Grasi bersifat personal, bukan kejahatan melawan negara atau pemerintahan.
Selain itu, pemberian grasi tidak harus melalui persetujuan DPR, hanya mempertimbangkan pendapat Mahkamah Agung.
"Kalau amnesti sendiri tidak absolut keputusan presiden, karena harus mendapat pertimbangan DPR. Itu juga perlu waktu, tidak bisa cepat," imbuhnya.
"Amnesti juga tertuju kepada mereka yang secara berkelompok atau banyak yang terlibat dalam tindak pidana melawan negara. Misalnya makar, menghina kepada pemerintahan atau kepala negara. Jadi semua tindak pidana yang merupakan crime against state, bukan crime against person seperti kasus Baiq Nuril. Karena itu, agak sulit menggunakan amnesti karena peruntukannya beda," kata Ifdhal.
Namun demikian, Ifdhal mengatakan, pembahasan tentang pemberian pengampunan kepada Baiq Nuril masih akan terus dibahas. Presiden pun, kata dia, belum memperoleh informasi yang utuh tentang kasusnya.
Presiden Jokowi pernah memberikan grasi setidaknya kepada lima orang tahanan politik yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ia mengatakan pemberian grasi tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Komentar
Posting Komentar